Istilah Awwabin
mungkin masih terasa asing ditelinga sebagian orang, hal ini mungkin
disebabkan karena
memang masalah ini jarang sekali dibahas. Meskipun sebenarnya
istilah Awwabin ini telah disebutkan disejumlah hadits nabawi.
Terlebih bila kata Awwabin dikaitkan untuk nama sebuah amalan shalat
sunnah, bisa dikatakan hal ini hanya familiar dikalangan tertentu saja. Karena
itu diedisi jum’at kali ini, kita akan mencoba mengurai tentang apa itu Awwabin
dan hukum shalat-shalat yang sering disebut sebagai shalat Awwabin.
Makna Awwabin
Kata Awwabin
jama' (bentuk plural) dari Awwab,
maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan, atau orang yang
kembali kepada taubat dan ketaatan. [1]
Menurut Imam al-Shan'an rahimahullah "Al-Awwab
adalah sebutan bagi mereka yang banyak kembali (bertaubat) kepada Allah Ta'ala dengan
meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan perbuatan-perbuatan
baik."[2]
Apa Maksud Shalat Awwabin ?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa penamaan shalat sunnah ba’da maghrib sebagai shalat Awwabin adalah tidak
tepat. Karena istilah awwabin yang sesuai
itu adalah untuk shalat sunnah dhuha. Ini Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Shalat Awwabin adalah apabila anak
onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (Mutafaqqun
‘Alaih)[3]
Dan dalam sebuah hadits lainnya disebutkan
perkataan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu : "Kekasihku shallallahu 'alaihi wasallam mewasiatkan
kepadaku untuk berpuasa tiga hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum
tidur, dan dari shalat Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin
(shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)." (HR. Ahmad
dan Ibnu Huzaimah)
Kalangan
ini menambahkan mengapa shalat dhuha yang dikerjakan pada waktu onta sudah
kepanasan (Waktu
menjelang tengah hari atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur) disebut Awwabin,
karena ia dikerjakan pada waktu padatnya aktivitas, maka dengan
mengerjakan shalat di dalamnya menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencari ridha Allah ta'ala dari pada menuruti
keinginan jiwa.
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa
Awwabin digunakan sebagai istilah untuk shalat sunnah yang dikerjakan ba’da
maghrib dengan bilangan tertentu. Yakni dengan bilangan; dua raka’at,
empat rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat. Penamaan ini
berdasarkan sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang shalat 6 raka’at
setelah maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin.[4]
Manakah yang benar ?
Harus diakui bahwa pendapat pertama lebih didukung oleh dalil yang lebih
kuat. Dan ini pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama. Namun tidak menutup
kemungkinan pula, bahwa keduanya bisa saja disebut Awwabin.
Dalam kitab Al Mausu’ah dikatakan : Shalat ini (shalat sunnah ba’da
Maghrib) disebut Awwabin karena sebab adanya hadits diatas (Hadits riwayat Ibnu
Umar). Dan ia juga disebut shalat ghoflah. Sedangkan penamaan shalat Awwabin
tidaklah bertentangan dengan hadits shahihain dari perkataan Rasulullah n : "Shalat Awwabin adalah apabila anak
onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha," karena tidak
menutup kemungkinan keduanya sama-sama bisa disebut shalat Awwabin.[5]
Ini pula yang menjadi pendapat kalangan ulama Syafi’iyah, mereka
memandang bahwa shalat dhuha dan shalat sunnah ba’da maghrib berserikat dalam
nama Awwabin.[6]
Demikian juga para ulama lainnya cendrung tidak terlalu mempermasalahkan
penyebutan Awwabin untuk shalat sunnah ba’da maghrib ini.[7]
Hukum
mengerjakan shalat Awwabin
Apakah shalat Awwabin disyariatkan ? Bila shalat awwabin yang dimaksud adalah sebagian dari shalat
Dhuha, yakni shalat dhuha yang dikerjakan saat matahari sudah
meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta mengangkat
kakiknya karena kepanasan. Maka telah jelas hukum
dan pensyariatannya (silahkan untuk melihat pembahasan hal ini diedisi yang
telah lalu : Hukum shalat dhuha).
Sedangkan apabila yang dimaksud dengan shalat Awwabin ini adalah shalat ghoflah atau shalat ba’diyah
maghrib, sebagaimana yang ditanyakan, berikut penjelasannya yang kami sarikan
dari kitab al Mausu’ah :
“Tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan fuqaha (para ahli fiqih) bahwa
menghidupkan (dengan shalat) antara maghrib dan isya adalah sunnah. Menurut
Syafi’iyah dan Malikiyah kesunnahannya sampai derajat sunnah muakkadah. Dan
kalangan Hanabilah menguatkannya.[8]
Berapa jumlah
raka’atnya ?
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’at shalat yang
dianjurkan untuk dikerjakan pada shalat Awwabin/Ghoflah/ ba’da Maghrib.
Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dianjurkan untuk
dikerjakan antara dua shalat (maghrib dan isya) adalah 6 raka’at, ini adalah
pendapat Abu Hanifah, dan ini pula pendapat yang rajih dari mazhab
Hanabilah. Dalil yang digunakan adalah
dalil dari Ibnu Umar diatas (“Barangsiapa yang shalat 6 raka’at setelah
maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin).
Kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa paling sedikit ia
dikerjakan dua raka’at dan yang paling banyak 20 raka’at. Dalilnya yang
digunakan adalah sebuah hadits "Barangsiapa shalat 20 rakaat setelah
maka Allah mambangun rumah di sorga untuknya." (HR Tirmidzi)
Sedangkan kalangan Mazhab Malikiyah tidak
membatasi jumlah raka’atnya, namun yang terbaik menurut mazhab ini adalah
dikerjakan sebanyak 6 raka’at.
Sedangkan sebagian ulama lainnya menolak pembatasan
shalat ini menjadi bilangan tertentu. Mereka menganggap hal ini tidak perlu dilakukan karena hadits-hadits yang menerangkan pembatasan jumlah raka’at shalat sunnah antara
Maghrib dan Isya semuanya lemah.
Bagaimana dengan
kalangan yang mempermasalahkan kesahihan hadits-hadits bilangan shalat ini?
Harus diakui bahwa hadits yang menyatakan jumlah bilangan tertentu
raka’at dari shalat ini semua dha’if. Sehingga sebagian ulama kemudian menolak
mengamalkan shalat sunnah ini melebihi dua raka’at.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits-hadits dha’if tersebut
dipandang bukan sebagai hadits ahkam (hukum) yang melandasi sebuah
amalan, dalam hal ini shalat Awwabin, tetapi hanya sebagai fadhilahnya.
Diantaranya
apa yang dijelaskan oleh Imam
Shaukani dalam Nailul Autar
setelah menyebutkan hadist-hadist tentang
bilangan raka’at shalat ba’diyah maghrib ini, beliau menjelaskan
hadist-hadistnya memang semuanya dha’if (lemah), namun semuanya bermakna
penganjuran memperbanyak shalat sunnah ini.[9]
Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat tentang penamaan Awwabin untuk shalat sunnah
antara Maghrib dan Isya. Sebagian membolehkan sebagian yang lain menolak. Yang
menolak beralasan bahwa penaman ini hanya untuk shalat dhuha yang dikerjakan diwaktu tertentu.
Ulama sepakat bahwa shalat sunnah ini paling sedikit dikerjakan 2 raka’at.
Namun mereka berbeda pendapat tentang bilangan raka’at yang mustahab (disukai)
untuk dikerjakan. Namun diketahui bahwa
jumhur ulama berpendapat maksimal 6 raka’at.
Selesai. Wallahu a’lam.
[1] Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237, Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah
(27/133).
[2] Subul al-Salam, (2/293)
[3] Al Mausu’ah al
Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/134).
[4] Dikatakan hadits ini disebutkan dalam Syarah Fath
al Qadir, lihat Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/273)
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/238).
[6] Mughni al Muhtaj (1/225)
[7] Nail al Authar (3/55), Fath al Qadir (1/317), al Iqna’ (1/108).
[8] Al Mausu’ah al
Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/237).
0 komentar:
Posting Komentar